Wednesday, April 13, 2016

Pak, Kenapa Kita Ndak NU?

BY biophia@gmail.com IN No comments



"Kenapa sih, Bapak nyekolahin anak-anak Bapak di sekolah Muhammadiyah?" Pertanyaan itu pernah terlontar dari mulut saya, beberapa waktu silam.
Entah sudah berapa puluh kali saya merepotkan Bapak dengan mempertanyakan hal-hal kekanakan semacam itu. Hal-hal yang tidak pokok, yang seringkali hanya berfungsi untuk meloloskan rasa ingin tahu seorang bocah yang ingin dianggap dewasa.
Kelima anak Bapak, dari Mbak Liya hingga Aufa (tidak termasuk Bina, yang telah lebih dulu meninggal pada usia pertamanya), selalu disekolahkan di sekolah yang sama: TK Aisyiyah, dan SD Muhammadiyah. Turun-temurun, sampai guru-guru di kedua sekolah itu mengenal kami sebagai saudari bagi yang lain. Baru ketika SMP, kami dibebaskan untuk memilih sekolah negeri favorit yang diinginkan.
"Yo ben anak-anake Bapak biso sinau agomo." Jawab Bapak sekedarnya. Tenang. Dalam.
"Tapi, kenapa sekolah Muhammadiyah?" Saya kembali bertanya. Dalam hati berteriak, 'kenapa nggak NU, Pak?' Dan tampaknya Bapak mengerti, apa motif sebenarnya dari pertanyaan ini.
"Kenopo nggak NU, gitu?" Tembaknya langsung. Saya merasa menang, merasa sukses menggiring Bapak pada titik yang saya inginkan tanpa harus mengatakannya. Tapi pada saat yang sama, sesuatu dalam ekspresi Bapak membuat saya menyesal.
"Ndhuk, jangan dikira Bapak itu fanatik pada satu golongan." Bapak mulai menjelaskan. Dan sesal itu makin kuat saya rasakan. "Enggak. Bapak cuma pingin kalian memiliki bekal pengetahuan agama sejak kecil. Tapi karena Bapak dan Ibumu ini orang bodoh, yang nggak bisa ngajarin anak-anaknya tentang agama, ya sudah jadi tanggung jawab Bapak untuk memilihkan sekolah yang bagus buat kalian, yang bercorakkan Islam." Bapak memberi jeda pada kalimatnya. Sejenak. Membiarkan saya bebas mengamati pahatan wajahnya, dan mengambil kesimpulan bahwa pada sisi tertentu, Bapak begitu mirip dengan Anggito Abimanyu.
"Kenapa Muhammadiyah, karena Bapak cari yang dekat rumah. Kalau Bapak harus menyekolahkan kalian ke Kauman, itu terlalu jauh. Bapak kan gak bisa setiap hari antar-jemput. Di Bendan dekat, kalian bisa pulang naik angkutan umum sendiri. Bapak gak terlalu khawatir." Penjelasan itu ditutupnya dengan nada yang terdengar apik di telinga.
Kauman adalah sebuah daerah dekat alun-alun kota yang--entah bagaimana sejarahnya--sarat akan NU. Di sana berdiri banyak madrasah berlogo bintang songo; dari ibtidaiyah hingga aliyah; juga Masjid Agung tempat berlangsungnya berbagai acara besar keagamaan. Saking kentalnya nuansa NU di sana, saya sampai mengira, orang-orang di Kauman pastilah Nahdliyyin semua.
Sedangkan Bendan, Bendan merupakan nama desa di mana sekolah kami, SD Muhammadiyah 02, mengokohkan gedungnya. Jaraknya hanya sepuluh menit bersepeda dari rumah kami; satuan ukur yang Bapak sebut sebagai "dekat".
***
Kiai Haji Ahmad Dahlan, saya bisikkan nama itu perlahan. Untuk sejenak mengingat bagaimana pribadi besar itu berjuang membangun peradaban.
Kala itu, mentari di langit Jogja sedang terik-teriknya. Kemarau yang memanjang telah memaksa warga sekitar untuk menerima kondisi alam walau bagaimanapun ganasnya. Mereka yang tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan para ningrat maupun memegang suatu jabatan di pemerintahan akan terus memacu diri ke ladang, ke sawah, ke pasar, dan segelintir sisanya ke pabrik-pabrik. Bekerja tanpa rehat untuk upah yang tak seberapa, dalam ketat aturan yang semena-mena.
Di titik inilah, di antara riuh rendah orang-orang yang berlalu-lalang, mengintip di balik jendela berkusen jati, seorang pemuda terduduk diam. Dalam kepalanya bersarang keresahan: tanah airnya tak kunjung merdeka. Ratusan tahun lamanya Belanda menduduki pertiwi, belum juga tampak tanda-tanda akan berhasilnya perjuangan pribumi.
Aroma keruntuhan kekhalifahan Turki Utsmani pun mulai tercium saat itu. Munculnya faktor-faktor seperti pemberontakan internal, kemerosotan kondisi sosial dan ekonomi, juga tekanan dari gerakan sekulerisasi Barat, membuat ketahanan kekhalifahan goyah. Konflik dimana-mana, kerusuhan menjadi tak terhindarkan, Barat terus melakukan serangan, dan Ottoman terancam jatuh. Ini bukan prognosa yang baik, tentu saja. Robohnya pilar kekhalifahan yang masih tersisa hanya akan memperparah keadaan umat Islam di negeri-negeri terjajah. Apa yang bisa dibanggakan dari suatu kaum yang kehilangan kejayaan dan tidak lagi memiliki pusat pemerintahan? Meski tak bisa dikatakan bahwa Ottoman mewakili seluruh lapisan muslim di dunia, dia adalah ikon peradaban ummat yang tersisa. Lalu apa yang bisa diharapkan dari suatu kaum yang tidak akan lagi memiliki sistem peradaban?
Maka demikianlah ummat Islam (di negeri terjajah) dipandang saat itu, atau setidaknya, begitulah menurut pemuda yang mengintip di balik jendela berkusen jati.
Namanya Muhammad Darwis. Beberapa waktu yang lalu, sepulangnya dari lima tahun masa belajarnya di Mekkah, dia berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Konon, sejak saat itu, dia mulai berani menampilkan diri sebagai pemuda yang bersemangat dalam dakwah. Aktif menuturkan pemikiran-pemikirannya tentang kemajuan ummat kepada beberapa kalangan, termasuk di dalamnya para guru dan keluarganya sendiri.
Ide-ide tentang modernisasi pendidikan, sistem ekonomi, sosial, dan kesadaran politik yang dipropagandakan oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha--selama belajar di Makkah--sedikit banyak memberikan gambaran apa langkah yang hendak dia ambil demi kemerdekaan bangsanya. Menurutnya, ummat Islam di Indonesia harus mengejar ketertinggalan-ketertinggalan mereka selama ini. Bagaimana mau balik menyerang kalau tidak tahu senjata lawan? Katanya. Maka bagi Dahlan, mempelajari apa yang dipelajari oleh Belanda adalah perlu.
Didirikannya sekolah diniyah dengan metode pembelajaran seperti yang ada dalam sekolah-sekolah resmi Belanda. Dahlan mengkombinasikan pelajaran agama dengan pengetahuan umum seperti bahasa inggris, matematika, dan sains. Ah, iya, dan satu lagi: seni. Tujuannya, tentu saja, untuk meningkatkan kualitas anak bangsa melalui jalur pendidikan dengan tetap berpijak pada Islam. Meski, yaah~ tidak semua orang mau sependapat.
Dia bergabung ke dalam organisasi Boedi Oetomo beberapa tahun kemudian. Langkahnya kali ini langsung mendapat kecaman dari sebagian besar tokoh agama Islam termasuk keluarganya sendiri, sebab Boedi Oetomo dianggap sebagai organisasi sekuler-kejawen yang tidak pantas diikuti oleh seorang kyai macam Ahmad Dahlan.
Dahlan menghirup napas sejenak. Disandarkannya punggungnya pada kursi kayu di ruang depan. Sudah sejauh ini, batinnya, dia tidak boleh berhenti. Beberapa langkah lain dia ambil dengan perhitungan matang, dan sebagai puncaknya, didirikannya Muhammadiyah: sebuah organisasi yang kelak menjadi wadah sekaligus kendaraan baginya untuk menjalankan visi dan misi.
Muhammadiyah yang kini lebih dikenal sebagai identitas bagi muslim yang tidak memakai doa qunut dan menolak upacara tahlilan itu sebenarnya tidak ditujukan untuk hal-hal demikian. Muhammadiyah, dengan segala detailnya, mengajarkan pada anggotanya untuk menjadi muslim yang mandiri secara ekonomi, berilmu, dinamis, dan (sebisa mungkin) memiliki amalan-amalan yang bersifat sosial.
Dengan begitu, rakyat akan menjadi cukup kuat untuk bangkit melawan. Dan memang kemudian itu toh yang terjadi?
***
Bapak saya bukan seorang pengurus Muhammadiyah, asal kamu tahu. Bapak tidak pernah terlibat dalam kepengurusan organisasi itu. Punya KTA-M pun tidak. Dia sosok yang terlampau biasa saja untuk memiliki kesibukan di komunitas. Tapi sejauh saya bisa mengingat, setiap kali saya bertanya atau menuntut fatwa darinya atas suatu perkara yang saya ragukan asal-muasal sumbernya, Bapak selalu memberi pertimbangan yang--baru saya tahu setelah dewasa--tidak jauh jauh dari isi HPT (Himpunan Putusan Tarjih). Meski saya yakin, sekalipun Bapak belum pernah membaca kitab itu.
Sampai di sini, saya mengerti. Tindakan menyekolahkan anak-anaknya di Bendan bukanlah perkara jarak yang katanya "lebih dekat". Bapak, saya meyakini, memang menyimpan ruh Muhammadiyah dalam dirinya.
Jadi setelah ini, saya hanya perlu membuat catatan lanjutan dengan judul, "Pak, saya boleh NU?"

Penulis : Ra'ufina

0 komentar:

Post a Comment