Pertanyaan yang telah sekian lama “Menggantung” Itu akhirnya
terjawab juga. Itulah soal penyelenggaraan kongres ke 15 Partai Komunis Cina
(PKC), yang sampai sekitar sebulan yang silam masih tetap misterius. Tanggal 12
Oktober 1992 telah ditetapkan sebagai pembukaan kongres Partai Komunis Cina
terbesar di seluruh jagat ini.
Fokus utama pemberitaan dan minat khalayak sudah dapat
dipastikan akan berkisar pada dua faktor yang paling menonjol. Konflik reformis
versus konservativ dan regenerasi. Biasanya kedua hal itu dihubungkan dengan
hari depan reformasi (Gaige) dan keterbukaan (Kaifang) mengenai regenerasi,
Isunya akan tetap berkisar pada persoalan, apakah golongan yang disebut
“Delapan Sesepuh” (Balao) masih akan
malang melintang dalam area politik Cina. Atau, apakah mereka akan digunakan
golongan pemimpin yang lebih muda dan lebih berani menempuh resiko dalam
program pembaharuan ketimbang para sesepuh itu.
“Delapan Sesepuh” adalah julukan untuk delapan politisi
senior angkatan Deng XiaoPing yang sudah berusia di atas 80 tahun, tak
menduduki jabatan resmi, tapi masih berpengaruh kuat, dengan meninggalnya bekas
presiden Li Xiannian beberapa waktu lalu, jumlah mereka jadi tinggal tujuh
mungkin lebuh ciocok disubut sebagai tujuh sesepuh (Qilao).
Dalam perkara konflik Reformis-Konservatif boleh dikatakan
sudah dapat dipastikan tak akan muncul suatu kemenangan yang Clear-Cut untuk
satu golongan faktor berusaha mencegah seseorang “Kehilangan muka “(Diu Lian)
dalam sistem politik Cina, seperti juga di Asia pada umumnya, memegang peranan
yang sangat besar, sehingga kemungkinan besar yang akan muncul lagi-lagi
kompromi. Posisi-posisi strategis dalam kepengurusan akan didistribusikan di
antara kedua golongan itu, sehingga dapat mencegah timbulnya gejolak politik
yang bisa menganggu stabilitas nasional.
Partisipasi aktif tujuh “Jago Tua” itu pasti akan makin
berkutang, tapi tak berarti, bahwa kepemimpinan PKC akan monolit dan konflik
senyap. Mengapa? karena sistem politik tingkat tinggi Cina tak mengenal istilah
pensiun. Walaupun para politisi senior sudah tidak aktif lagi, gagasan-gagasan
mereka tidak dengan sendirinya hilang. Maing-masing dari mereka punya “Jago
Elusan” yang melindungi kepentingan pribadi dan keluarga mereka, dan meneruskan
gagasan-gagasan politik mereka. Jadi, kecenderungan bagi timbulnya keputusan
yang mengejutkan sebagai hasil kongres nampaknya kecil, tanpa mengesampingkan
adanya kemungkinan itu.
Namun, sebenarnya ada persoalan lain yang lebih hakiki dan lebih
menarik untuk diungkapkan dari pada masalah konflik dan regenerasi. Isu itu
adalah kedudukan PKC di tengah Cina dan dunia yang sedang berubah. Apapun hasil
kongres nanti , masalah posisi partai di tengah perubahan itu akan teus
menghantuinya sepanjang PKC ada dan selama ia masih tetapberpegang padsa
tradisi sebagai pemegang partai penguasa tunggal.
Tak diragukan lagi, bahwa PKC dan partai-partai komunis yang
masih ada dewasa ini sedang menhadapi tantangan berupa krisis kepercayaan.
Tantangan itu bukan hanya datang dari dalam, tapi juga dari luar krisis
kepercayaan yang sedang dihadapi PKC sebenarnya bukan soal baru. Sudah sejak
pertengahan dasawarsa1950-an, mendiang Mao Zedong melihat gejala makin
memudarnya elan revolusi klub para birokrat dan telah kehilangan fungsinya
sebagai “penyambung lidah rakyat”. karena telah tenggelam dalam dunia yang
makin birokratis, dan kehidupan para kadernya yang maikn lama makin empuk
mungkin Mao juga menyadari akan ancaman timbulnya “kelas baru” dalam sistem
komunis seperti yang dilansir penulis Yugoslavia, Milovan Djilas. Karenanya,
Mao sangat takut akan kebangkitan kembali kapitalisme di Cina
Untuk mengatasi hal itu, Mao telah menggelindingkan berbagai
kampanye politik mulai dari “Gerakan Seratus Bunga” (1955). Lompatan jauh ke
muka (1957), Gerakan Pendidikan Sosialis (1965). Sampai ke Revolusi kebudayaan (1966).
Dalam Revolusi Kebudayaan yang berlangsung selama 10 tahun (1966-1976), di
bawah tema pokok mencegah kebangkitan kembali kapitalisme, sebagian besar unsur
partai yang dituduh sebagai “Birokrat”, “Kapitalis”, “Kanan”, dan “Kontra
Revolusioner” berhasil dibersihkan. Tapi meski mentelan sebagai kampanye telah
dilancarkan, penyakit yang menghinggapi partai masih tetap hadir. Bahkan
menjelang wafatnya karena keadaan Cina yang maikn kacau, Mao terpaksa menarik
dan mempekerjakan kembali orang-orang yang dulu diganyang dan dikeluarkan dari
partai.
Tantangan yang dihadapi PKC sekarang berbeda dengan apa yang
dialaminya di masa Mao. Dengan diperkenalkannya demokrasi ekonomi sebagai tema
pokok, reformasi yang direkayasa deng sejak 1979, tuntutan untuk terlaksananya
demokrasi politik makin besar. Namun Deng dan kawan-kawannya kurang menyadari
akan kenyataan, bahwa pada suatu saat tertentu dan suatu titik tertentu
demokrasi ekonomi dan demokrasi politik harus bertemu. Dengan demikian proses
yang berkembang adalah, di satu sisi PKC bertekad tetap mempertahankan
kedudukannya sebagai partai tunggal, tapi di sisi lain massa rakyat, terutama
kaum muda menuntut hak-hak demokrasi yang lebih besar.
Terjadinya peristiwa berdarah di Tiananmen pada 3-4 Juni
tiga tahun yang silam, tak lain sebagai akibat dari tarik-menarik antara kedua
kekuatan ini. Jutaan massa Beijing dan jutaan jalan mendukung aksi mahasiswa
yang menuntut hak-hak demokrasi. Hanya dengan keperkasaan tentara Pembebasan
Rakyat (TPR) dan kekerasan senjata, kewibawaan partai masih dapat
dipertahankan.
Situasi dunia dewasa ini juga tak menguntungkan PKC.
Runtuhnya Rezim-rezim komunis totaliter di bekas Uni Soviet dan eropa timur,
telah disusul dengan munculnya proses demokratisasi yang makin lama menjadi
gejala global. Itu ditambah lagi dengan dunia yang kian hari kian “Sempit”
sebagai dampak terciptanya teknologi komunikasi yang makin lama makain
bertambah maju.
Peristiwa pecahnya negara Uni Soviet dan timbulnya proses
demokratisasi di sana, pasti didasari kehadirannya oleh sebagian rakyat Cina.
Itu semuanya adalah akibat dan reformasi dan keterbukaan yang dirintis Deng
sejak 1979 dan komunikasi yang semakin canggih. Sebagai akibatnya, baik di mata
sebagian rakyat Cina maupun mata dunia, PKC bagaikan penjelmaan suatu sistem
yang arkhalk, anarkronik atas tak sesuai lagi dengan zaman.
Mungkin saja dalam menghadapi dunia dan Cina yang sedang
berubah seperti sekarang ini, PKC akan mengambil langkah-langkah lebih terbuka
dan menjalankan sistem yang demokratis atau pluralistis. Namun pada
kenyataannya, PKC dewasa ini adalah satu-satunya kekuatan politik di Cina yang
terorganisasi dengan baik. Oleh sebab itu, andai kata muncul suatu partai
tandingan atau oposisi, prakarsanya akan muncul dari kalangan PKC itu sendiri.
Sejak awal 1980-an setiapa usaha untuk membentuk kekuatan politik alternatif di
negeri semilyar manusia itu, selalu gagal, lantaran selalu dihalang-halangi.
Soalnya dekarang, apakah para penguasa RRC menyadari akan
gentingnya keadaan? Apakah mereka telah mempersiapkan suatu sistem yang lebih
cocok untuk masa sekarang? Atau malahan lebih maju lagi dengan memberi peluang
untuk munculnya suatu kekuatan politik alternatif?
Rangkaian pertanyaan itu hanya bisa dijawab sejarah ataupun
pencarian jalan keluar dan dilema itu sangat mendesak bagi Cina. Sementara itu
saat pembukaan kongres makin mendekat.