Setelah perang dingin
(Cold War) berakhir, Cina menjadi sebuah fenomena yang eksotis dalam peta
hubungan internasional. Cina menjadi menarik perhatian Internasional, karena
negeri itu bersikukuh mempertahankan ideologi komunisme dan sistem partai
tunggal, sementara di bagian dunia lain banyak negara mulai mencampakkan
komunisme serta mengadopsi sistem multi partai dan demokrasi.
Seperti diketahui, setelah Michael Gorbachev mengibarkan
bendera glasmost dan perestoika , perang dingin Timur-Barat
yang berlangsung sejak tahun 1950-an, perlahan-lahan mulai melenyap satu demi
satu negara komunis Eropa Timur menanggalkan jubah komunisme dan mulai
mempraktekkan sistem politik dan ekonomi gaya Barat. Uni Soviet sendiri, yang
selama hampir setengah abad menjadi benteng sekaligus payung komunisme Eropa
Timur, menjadi berantakan diterpa gelombang disintegrasi. Rusia sebagai “pewaris
tahta” Uni Soviet dengan terang-terangan berkiblat ke Barat dalam mengelola
sistem politik dan ekonominya.
Hancurnya Uni Soviet dan terhempasnya dominasi partai
komunis di seluruh Eropa Timur menambahkan resonasi perubahan ke berbagai
belahan dunia. Di Amerika Tengah, pemerintah Sandinista yang berbau Marxis dan
pro Moskow, tumbang dalam suatu pemilu multi partai yang demokratis. Di Timur
Tengah, pemerintah Yaman Selatan yang juga boneka Moskow, membubarkan diri dan
negeri itu akhirnya bergabung dengan Yaman Utara. Di Asia Tenggara, rezim Hun
Sen yang didukung Soviet dan Vietnam juga kalah dalam pemilu multi partai. Sedangkan
di Afrika, rezim-rezim sosialis (dari yang bergaris keras sampai lunak) dijatuhkan oleh kekuatan
oposisi, bauk melalui kudeta bersenjata maupun lewat pemilu yang demokratis.
Kini praktis tinggal beberapa gelintir negara secara
formal masih mempertahankan sistem sosialis dan menampik liberalisasi politik,
diantaranya Cina, Korea Utara, Kuba, Vietnam, dan Myanmar, tetapi, keempat
negara yang disebut terakhir kurang memiliki potensi yang berrarti untuk
menentukan arah dan perkembangan politik internasional. Sebab itu, kependudukan
dunia internasional, khususnya negara-negara barat, terhadap berbagai
kecenderungan yang terjadi di negara-negara tersebut kurang begitu besar. Apalagi
negara-negara itu ( Kecuali Korea Utara) ini sudah memperlihatkan sinyal-sinyal
yang adaptif bagi kemungkinan perubahan seperti yang terjadi di berkas negara
negara sosialis lainnya.
Tetapi, lain halnya dengan Cina. Sebagai negara besar (
great power) baik dalam pengertian kualitas penduduk dan wilayah maupun potensi
dan pengaruhnya yang strategis dalam politik internasional, maka setiap trend
perkembangan yang terjadidi cina layak menyedot perhatian negara manapun selama
hampir empat dekade periode perang dingin, cina telah membuktikan kepada dunia
bagaimana negeri itu memerankan posisi sebagai balancer yang strategis dalam
perimbangan kekuatan internasional. Dan, kini dengan pertumbuhan ekonomi yang
meroket tajam, dengan penguasaan teknologi yang kian canggih, dengan
kapabilitas diplomasi yang bertambah elegan, Cina menjadi salah satu unit
politik dalam hubungan internasional yang sangat penting dan kian mustahil
untuk diabaikan.
Dengan demikian, posisi Cina sebagai negara yang masih
bersikeras mempertahankan sosialisme, menjadi sangat berbeda dengan Korea
Utara, Kuba, Vietnam, dan Myanmar. Setidaknya, intensitas dan kuriositas
sorotan masyarakat internasional terhadap eksistensi dan perkembangan mereka ,
berbeda kenyataan ini diantaranya bisa dibuktikan bahwa liputan media masal
internasional ( termasuk di Indonesia) terhadap berbagai hal awal yang terjadi
di Cina begitu dominan. Studi-studi mengenai Cina ( Chinese Studies) pun
semakin berkembang di banyak negara secara garis besar ada dua alasan yang
membuat Cina menarik perhatian. Pertama, Cina masih setia pada komunisme
(setidaknya secara formal), sementara banyak negara lain justru telah mengubur
dan menganggap produk pemikiran Marx dan Lenin itu sebagai “Barang Rongsokan”.
Kedua, akhir-akhir ini Cina secara pasti semakin bergerak ke arah status Super
Power, baik dilihat dari sudut kekuatan militer maupun kemampuan ekonominya.
Dalam menghadapi dua hal itu banyak, orang menjadi “penasaran” dan
bertanya-tanya. Sanggupkah Cina mempertahankan sepremasi komunisme dalam sistem
politik mereka di tengah gelombang liberalisasi sekarang ini? Mampukah partai
komunis Cina (PKC) melanggengkan dominasinya sementara arus demokrasi tidak
dapat dibendung di mana-mana? Apakah Cina akan meneruskan tradisi ekonomi
sosialis ataukah akan menggantinya sama sekali dengan kapitalisme dan ekonomi pasar?
Akankah Cina benar-benar mampu menjadi negara super power menggantikan peranan
“almarhum” Uni Soviet dalam politik
Internasional
Editor: Umar Suryadi Bakri
Editor: Umar Suryadi Bakri