"Kenapa sih, Bapak nyekolahin anak-anak Bapak di sekolah
Muhammadiyah?" Pertanyaan itu pernah terlontar dari mulut saya, beberapa
waktu silam.
Entah sudah berapa puluh kali saya merepotkan Bapak
dengan mempertanyakan hal-hal kekanakan semacam itu. Hal-hal yang tidak
pokok, yang seringkali hanya berfungsi untuk meloloskan rasa ingin tahu
seorang bocah yang ingin dianggap dewasa.
Kelima anak Bapak, dari
Mbak Liya hingga Aufa (tidak termasuk Bina, yang telah lebih dulu
meninggal pada usia pertamanya), selalu disekolahkan di sekolah yang
sama: TK Aisyiyah, dan SD Muhammadiyah. Turun-temurun, sampai guru-guru
di kedua sekolah itu mengenal kami sebagai saudari bagi yang lain. Baru
ketika SMP, kami dibebaskan untuk memilih sekolah negeri favorit yang
diinginkan.
"Yo ben anak-anake Bapak biso sinau agomo." Jawab Bapak sekedarnya. Tenang. Dalam.
"Tapi, kenapa sekolah Muhammadiyah?" Saya kembali bertanya. Dalam hati
berteriak, 'kenapa nggak NU, Pak?' Dan tampaknya Bapak mengerti, apa
motif sebenarnya dari pertanyaan ini.
"Kenopo nggak NU, gitu?"
Tembaknya langsung. Saya merasa menang, merasa sukses menggiring Bapak
pada titik yang saya inginkan tanpa harus mengatakannya. Tapi pada saat
yang sama, sesuatu dalam ekspresi Bapak membuat saya menyesal.
"Ndhuk, jangan dikira Bapak itu fanatik pada satu golongan." Bapak mulai
menjelaskan. Dan sesal itu makin kuat saya rasakan. "Enggak. Bapak cuma
pingin kalian memiliki bekal pengetahuan agama sejak kecil. Tapi karena
Bapak dan Ibumu ini orang bodoh, yang nggak bisa ngajarin anak-anaknya
tentang agama, ya sudah jadi tanggung jawab Bapak untuk memilihkan
sekolah yang bagus buat kalian, yang bercorakkan Islam." Bapak memberi
jeda pada kalimatnya. Sejenak. Membiarkan saya bebas mengamati pahatan
wajahnya, dan mengambil kesimpulan bahwa pada sisi tertentu, Bapak
begitu mirip dengan Anggito Abimanyu.
"Kenapa Muhammadiyah,
karena Bapak cari yang dekat rumah. Kalau Bapak harus menyekolahkan
kalian ke Kauman, itu terlalu jauh. Bapak kan gak bisa setiap hari
antar-jemput. Di Bendan dekat, kalian bisa pulang naik angkutan umum
sendiri. Bapak gak terlalu khawatir." Penjelasan itu ditutupnya dengan
nada yang terdengar apik di telinga.
Kauman adalah sebuah daerah
dekat alun-alun kota yang--entah bagaimana sejarahnya--sarat akan NU. Di
sana berdiri banyak madrasah berlogo bintang songo; dari ibtidaiyah
hingga aliyah; juga Masjid Agung tempat berlangsungnya berbagai acara
besar keagamaan. Saking kentalnya nuansa NU di sana, saya sampai
mengira, orang-orang di Kauman pastilah Nahdliyyin semua.
Sedangkan Bendan, Bendan merupakan nama desa di mana sekolah kami, SD
Muhammadiyah 02, mengokohkan gedungnya. Jaraknya hanya sepuluh menit
bersepeda dari rumah kami; satuan ukur yang Bapak sebut sebagai "dekat".
***
Kiai Haji Ahmad Dahlan, saya bisikkan nama itu perlahan. Untuk sejenak
mengingat bagaimana pribadi besar itu berjuang membangun peradaban.
Kala itu, mentari di langit Jogja sedang terik-teriknya. Kemarau yang
memanjang telah memaksa warga sekitar untuk menerima kondisi alam walau
bagaimanapun ganasnya. Mereka yang tidak memiliki hubungan kekerabatan
dengan para ningrat maupun memegang suatu jabatan di pemerintahan akan
terus memacu diri ke ladang, ke sawah, ke pasar, dan segelintir sisanya
ke pabrik-pabrik. Bekerja tanpa rehat untuk upah yang tak seberapa,
dalam ketat aturan yang semena-mena.
Di titik inilah, di antara
riuh rendah orang-orang yang berlalu-lalang, mengintip di balik jendela
berkusen jati, seorang pemuda terduduk diam. Dalam kepalanya bersarang
keresahan: tanah airnya tak kunjung merdeka. Ratusan tahun lamanya
Belanda menduduki pertiwi, belum juga tampak tanda-tanda akan
berhasilnya perjuangan pribumi.
Aroma keruntuhan kekhalifahan
Turki Utsmani pun mulai tercium saat itu. Munculnya faktor-faktor
seperti pemberontakan internal, kemerosotan kondisi sosial dan ekonomi,
juga tekanan dari gerakan sekulerisasi Barat, membuat ketahanan
kekhalifahan goyah. Konflik dimana-mana, kerusuhan menjadi tak
terhindarkan, Barat terus melakukan serangan, dan Ottoman terancam
jatuh. Ini bukan prognosa yang baik, tentu saja. Robohnya pilar
kekhalifahan yang masih tersisa hanya akan memperparah keadaan umat
Islam di negeri-negeri terjajah. Apa yang bisa dibanggakan dari suatu
kaum yang kehilangan kejayaan dan tidak lagi memiliki pusat
pemerintahan? Meski tak bisa dikatakan bahwa Ottoman mewakili seluruh
lapisan muslim di dunia, dia adalah ikon peradaban ummat yang tersisa.
Lalu apa yang bisa diharapkan dari suatu kaum yang tidak akan lagi
memiliki sistem peradaban?
Maka demikianlah ummat Islam (di
negeri terjajah) dipandang saat itu, atau setidaknya, begitulah menurut
pemuda yang mengintip di balik jendela berkusen jati.
Namanya
Muhammad Darwis. Beberapa waktu yang lalu, sepulangnya dari lima tahun
masa belajarnya di Mekkah, dia berganti nama menjadi Ahmad Dahlan.
Konon, sejak saat itu, dia mulai berani menampilkan diri sebagai pemuda
yang bersemangat dalam dakwah. Aktif menuturkan pemikiran-pemikirannya
tentang kemajuan ummat kepada beberapa kalangan, termasuk di dalamnya
para guru dan keluarganya sendiri.
Ide-ide tentang modernisasi
pendidikan, sistem ekonomi, sosial, dan kesadaran politik yang
dipropagandakan oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha--selama belajar di
Makkah--sedikit banyak memberikan gambaran apa langkah yang hendak dia
ambil demi kemerdekaan bangsanya. Menurutnya, ummat Islam di Indonesia
harus mengejar ketertinggalan-ketertinggalan mereka selama ini.
Bagaimana mau balik menyerang kalau tidak tahu senjata lawan? Katanya.
Maka bagi Dahlan, mempelajari apa yang dipelajari oleh Belanda adalah
perlu.
Didirikannya sekolah diniyah dengan metode pembelajaran
seperti yang ada dalam sekolah-sekolah resmi Belanda. Dahlan
mengkombinasikan pelajaran agama dengan pengetahuan umum seperti bahasa
inggris, matematika, dan sains. Ah, iya, dan satu lagi: seni. Tujuannya,
tentu saja, untuk meningkatkan kualitas anak bangsa melalui jalur
pendidikan dengan tetap berpijak pada Islam. Meski, yaah~ tidak semua
orang mau sependapat.
Dia bergabung ke dalam organisasi Boedi
Oetomo beberapa tahun kemudian. Langkahnya kali ini langsung mendapat
kecaman dari sebagian besar tokoh agama Islam termasuk keluarganya
sendiri, sebab Boedi Oetomo dianggap sebagai organisasi sekuler-kejawen
yang tidak pantas diikuti oleh seorang kyai macam Ahmad Dahlan.
Dahlan menghirup napas sejenak. Disandarkannya punggungnya pada kursi
kayu di ruang depan. Sudah sejauh ini, batinnya, dia tidak boleh
berhenti. Beberapa langkah lain dia ambil dengan perhitungan matang, dan
sebagai puncaknya, didirikannya Muhammadiyah: sebuah organisasi yang
kelak menjadi wadah sekaligus kendaraan baginya untuk menjalankan visi
dan misi.
Muhammadiyah yang kini lebih dikenal sebagai identitas
bagi muslim yang tidak memakai doa qunut dan menolak upacara tahlilan
itu sebenarnya tidak ditujukan untuk hal-hal demikian. Muhammadiyah,
dengan segala detailnya, mengajarkan pada anggotanya untuk menjadi
muslim yang mandiri secara ekonomi, berilmu, dinamis, dan (sebisa
mungkin) memiliki amalan-amalan yang bersifat sosial.
Dengan begitu, rakyat akan menjadi cukup kuat untuk bangkit melawan. Dan memang kemudian itu toh yang terjadi?
***
Bapak saya bukan seorang pengurus Muhammadiyah, asal kamu tahu. Bapak
tidak pernah terlibat dalam kepengurusan organisasi itu. Punya KTA-M pun
tidak. Dia sosok yang terlampau biasa saja untuk memiliki kesibukan di
komunitas. Tapi sejauh saya bisa mengingat, setiap kali saya bertanya
atau menuntut fatwa darinya atas suatu perkara yang saya ragukan
asal-muasal sumbernya, Bapak selalu memberi pertimbangan yang--baru saya
tahu setelah dewasa--tidak jauh jauh dari isi HPT (Himpunan Putusan
Tarjih). Meski saya yakin, sekalipun Bapak belum pernah membaca kitab
itu.
Sampai di sini, saya mengerti. Tindakan menyekolahkan
anak-anaknya di Bendan bukanlah perkara jarak yang katanya "lebih
dekat". Bapak, saya meyakini, memang menyimpan ruh Muhammadiyah dalam
dirinya.
Jadi setelah ini, saya hanya perlu membuat catatan lanjutan dengan judul, "Pak, saya boleh NU?"
Penulis : Ra'ufina