Sunday, January 24, 2016

Cina dan Partai Komunis

BY biophia@gmail.com IN No comments



Setelah perang dingin (Cold War) berakhir, Cina menjadi sebuah fenomena yang eksotis dalam peta hubungan internasional. Cina menjadi menarik perhatian Internasional, karena negeri itu bersikukuh mempertahankan ideologi komunisme dan sistem partai tunggal, sementara di bagian dunia lain banyak negara mulai mencampakkan komunisme serta mengadopsi sistem multi partai dan demokrasi.

            Seperti diketahui, setelah Michael Gorbachev mengibarkan bendera glasmost dan perestoika , perang dingin Timur-Barat yang berlangsung sejak tahun 1950-an, perlahan-lahan mulai melenyap satu demi satu negara komunis Eropa Timur menanggalkan jubah komunisme dan mulai mempraktekkan sistem politik dan ekonomi gaya Barat. Uni Soviet sendiri, yang selama hampir setengah abad menjadi benteng sekaligus payung komunisme Eropa Timur, menjadi berantakan diterpa gelombang disintegrasi. Rusia sebagai “pewaris tahta” Uni Soviet dengan terang-terangan berkiblat ke Barat dalam mengelola sistem politik dan ekonominya.

            Hancurnya Uni Soviet dan terhempasnya dominasi partai komunis di seluruh Eropa Timur menambahkan resonasi perubahan ke berbagai belahan dunia. Di Amerika Tengah, pemerintah Sandinista yang berbau Marxis dan pro Moskow, tumbang dalam suatu pemilu multi partai yang demokratis. Di Timur Tengah, pemerintah Yaman Selatan yang juga boneka Moskow, membubarkan diri dan negeri itu akhirnya bergabung dengan Yaman Utara. Di Asia Tenggara, rezim Hun Sen yang didukung Soviet dan Vietnam juga kalah dalam pemilu multi partai. Sedangkan di Afrika, rezim-rezim sosialis (dari yang bergaris  keras sampai lunak) dijatuhkan oleh kekuatan oposisi, bauk melalui kudeta bersenjata maupun lewat pemilu yang demokratis. 

            Kini praktis tinggal beberapa gelintir negara secara formal masih mempertahankan sistem sosialis dan menampik liberalisasi politik, diantaranya Cina, Korea Utara, Kuba, Vietnam, dan Myanmar, tetapi, keempat negara yang disebut terakhir kurang memiliki potensi yang berrarti untuk menentukan arah dan perkembangan politik internasional. Sebab itu, kependudukan dunia internasional, khususnya negara-negara barat, terhadap berbagai kecenderungan yang terjadi di negara-negara tersebut kurang begitu besar. Apalagi negara-negara itu ( Kecuali Korea Utara) ini sudah memperlihatkan sinyal-sinyal yang adaptif bagi kemungkinan perubahan seperti yang terjadi di berkas negara negara sosialis lainnya. 

            Tetapi, lain halnya dengan Cina. Sebagai negara besar ( great power) baik dalam pengertian kualitas penduduk dan wilayah maupun potensi dan pengaruhnya yang strategis dalam politik internasional, maka setiap trend perkembangan yang terjadidi cina layak menyedot perhatian negara manapun selama hampir empat dekade periode perang dingin, cina telah membuktikan kepada dunia bagaimana negeri itu memerankan posisi sebagai balancer yang strategis dalam perimbangan kekuatan internasional. Dan, kini dengan pertumbuhan ekonomi yang meroket tajam, dengan penguasaan teknologi yang kian canggih, dengan kapabilitas diplomasi yang bertambah elegan, Cina menjadi salah satu unit politik dalam hubungan internasional yang sangat penting dan kian mustahil untuk diabaikan.

            Dengan demikian, posisi Cina sebagai negara yang masih bersikeras mempertahankan sosialisme, menjadi sangat berbeda dengan Korea Utara, Kuba, Vietnam, dan Myanmar. Setidaknya, intensitas dan kuriositas sorotan masyarakat internasional terhadap eksistensi dan perkembangan mereka , berbeda kenyataan ini diantaranya bisa dibuktikan bahwa liputan media masal internasional ( termasuk di Indonesia) terhadap berbagai hal awal yang terjadi di Cina begitu dominan. Studi-studi mengenai Cina ( Chinese Studies) pun semakin berkembang di banyak negara secara garis besar ada dua alasan yang membuat Cina menarik perhatian. Pertama, Cina masih setia pada komunisme 
(setidaknya secara formal), sementara banyak negara lain justru telah mengubur dan menganggap produk pemikiran Marx dan Lenin itu sebagai “Barang Rongsokan”. Kedua, akhir-akhir ini Cina secara pasti semakin bergerak ke arah status Super Power, baik dilihat dari sudut kekuatan militer maupun kemampuan ekonominya. Dalam menghadapi dua hal itu banyak, orang menjadi “penasaran” dan bertanya-tanya. Sanggupkah Cina mempertahankan sepremasi komunisme dalam sistem politik mereka di tengah gelombang liberalisasi sekarang ini? Mampukah partai komunis Cina (PKC) melanggengkan dominasinya sementara arus demokrasi tidak dapat dibendung di mana-mana? Apakah Cina akan meneruskan tradisi ekonomi sosialis ataukah akan menggantinya sama sekali dengan kapitalisme dan ekonomi pasar? Akankah Cina benar-benar mampu menjadi negara super power menggantikan peranan “almarhum” Uni Soviet dalam politik Internasional


Editor: Umar Suryadi Bakri

0 komentar:

Post a Comment