Wednesday, March 30, 2016

Mampukah PKC Bertahan?

BY biophia@gmail.com IN No comments


Bahkan di Cina sendiri banyak orang yang yakin lonceng kematian komunisme sebenarnya telah berbunyi di Beijing. Tumbangnya rezim-rezim komunis di Eropa Timur dan Uni Soviet terjadi menyusul keributan Tiananmen 1989.

Memang, penindasan berdarah atas unjuk rasa menurut demokrasi dan memberantas korupsi di lapangan Tiananmen justru berguna di luar Cina. Berkat campur tangan tentara pembebasan rakyat (TPR), pemerintah dan partai komunis Cina (PKC) terselamatkan, bahkan kini makin berkibar, mengapa begitu?

Ada yang mengatakan, kemenangan kaum komunis Cina adalah hasil perjuangan Revolusioner pnjang dan penuh simpati rakyat karena ia satu-satunya alternatif menuju “Cina Baru” yang bebas penindasan, perang, kelaparan, dan salah urus. Dasawarsa 1950-an adalah masa keemasan PKC. Ia telah berhasil mananamkan pengaruhnya sampai kalangan rakyat terbawah. Maka, tak mudah mendongkrak PKC dari kursi kekuasaan. Pendapat ini biasanya datang dari sejarawan.

Ada juga analisis yang melihat faktor-faktor kebudayaan. Menurut tradisi, kehadiran penguasa dan pemerintah adalah untuk memelihara keseimbangan di antara kontradiksi-kontradiksi yang hadir di alam semesta. Ketidakhadiran seorang penguasa yang tidak memegang mandat dari langit akan menyebabkan kekacauan (luan) dan anarkhi. Luan adalah keadaan yang ditakuti baik oleh penguasa maupun rakyat Cinaumumnya karenanya mereka segan mengorbankan keamanan dan ketertiban demi apapun termasuk demokrasi.
Keyakinan tradisional akan perlunya ketertiban atau keseimbangan ini rupanya sangat dimengerti penguasa Cina. Akhir-akhir ini hampir setiap hari rakyat Cina dijejali propaganda akan pentingnya kemanan, pembunuhan dan anarkisme yang melanda (Bekas) Yugoslavia, Afghanistan, Eropa Timur, dan di (Bekas) Uni Soviet selalu diekspose di media massa Cina. Gunanya, untuk memberikesan kepada rakyat bahwa alternatif lain dari keamanan, stabilisasi dan ketertiban adalah anarkhi. Dan keamanan serta ketertiban hanya bisa dicapai jika ada pemerinah yang kuat.

Namun, disisi lain ada pendapat umumnya dari para ahli ilmu politik yang mengatakan, kestabilan yang sedang dinikmati pemerintah dan rakyat Cina dewasa ini hanya kestabilan semu. PKC, kata mereka, sedang mengulur waktu ada dua hal yang dipakan para penguasa Cina dan memenangkan dukungan masyarakat; Reformasi ekonomi dan penindasan militer.

Politik bermuka dua itu digambarkan dengan gamblang dalam alaporan kerja pengurus partai yang diucapkan ketua PKC Jiang Zemin pada pembukaan kongres ke 14 PKC, September, 1992. Disitu Jiang berterus terang mengatakan, dalam 10 tahun terakhir ini PKC bisa berkuasa terus karena kemajuan ekonomi yang dinikmati segala lapisan masyarakat dan pengawasan ketat karena itulah ia menyerukan pada thun-tahun mendatang laju perkembangan ekonomi dipacu hingga 9%, mempertahankan kediktatoran partai tunggal, sambil terus memperketat pengawasan dengan memperkuat tentara dan polisi.

Ia tak banyak membicarakan ideologi, karena memang dengan laju perkembangan ekonomi begitu hebat, ideologi terdesak ke belakang. Diperkirakan sekarang tak banyak rakyat Cina yang percaya akan komunisme. Rekayasa sosisl dan politik yang dipaksananMao Zhedong sejak pertengahan 1950-an sampai 1976 telah menyebabkan banyak orang terutama golongan intelektual mengalami disilusi.
Menurut mereka PKC pada 1920-an sampai pertengahan 1950-an dipuja sebagai penyelamat Cina, telah meakukan serentetan kesalahan besar. Gerakan lompatan jauh ke muka (1957-1959) dan revolusi kebudayaan ( 1966-1976) digambarkan sebagai contoh nyata kegagalan PKC memimpin Cina. Karena itulah banyak yang tidak peduli lagi dengan ideologi, bahkan acuh pada partai.
Namun, ironisnya, krisis ideologi itu justru menguntungkan posisi PKC, rakyat yang setiap gerak-geriknya diawasi, sekarang punya kebebasan asal saja  tidak mengutak ngutik posisi partai sebagai penguasa tunggal.

Sikap acuh terhadap penguasa itu bukan hanya terjadi di kalanga bawah saja, tetapi juga di atas. Mantan perdanamenteri dan ketua PKC Zhao Ziyang, misalnya tidak tidak diapa-apakan dan bahkan setiap hari, konon, asik main golf. Padahal kesalahan besar ia dituduh bersimpati terhadap berniat merontokkan kekuasaan partai. Memang ada tuntunan agar ia diadili atau dipaksa melakukan otokritik, tapi suara itu ibarat peribahsa “Partai Menggonggong Zhao terus main golf”
Para pengamat yang lebih berani lagi malahan mengatakn, RRC sebenarnya sudah tidak bisa disebut sebuah negara sosialis. Banyak ciri yang dulu megidentifikasikannya  sebagai negara sosialis telah ditinggalkan. Komune rakyat telah lenyap dengan adanya dekontektifisasi.

Prinsip “mangkuk nasi besi” yang menjamin semua orang mendapat pekerjaan seumur hidup berangsur telah ditinggalkan. Dalam pada itu perencanaan terpusat juga sudah tidak terdengar lagi kabarnya di bawah prinsip “Desentralisasi” daerah dieri kekuasaan mengatur sendiri urusannya.
alhasil, ketakutan akan kehilangan kemakmuran dan ketakutan terceraiberainya tanah air adalah dua faktor yang jadi tumpuan bagi PKC untuk tetap berkuasa dan jadi “perekat” persatuan nasional.
Tapi, kesinambungan kesuksesan suatu rezim totaliter tidak bisa selamnanya mengandalkan diri hanya ada psikologi ketakutan kekhawatiran, represi politik dan pengebirian hak-hak sipil. Para penguasa Cina harus menjadi etos baru lain yang bisa diterima segenap masyarakat. Mereka sedang dikejar waktu untuk segera menemukannya.

0 komentar:

Post a Comment