Bahkan di Cina sendiri banyak orang yang yakin lonceng
kematian komunisme sebenarnya telah berbunyi di Beijing. Tumbangnya rezim-rezim
komunis di Eropa Timur dan Uni Soviet terjadi menyusul keributan Tiananmen
1989.
Memang, penindasan berdarah atas unjuk rasa menurut
demokrasi dan memberantas korupsi di lapangan Tiananmen justru berguna di luar
Cina. Berkat campur tangan tentara pembebasan rakyat (TPR), pemerintah dan
partai komunis Cina (PKC) terselamatkan, bahkan kini makin berkibar, mengapa
begitu?
Ada yang mengatakan, kemenangan kaum komunis Cina adalah
hasil perjuangan Revolusioner pnjang dan penuh simpati rakyat karena ia
satu-satunya alternatif menuju “Cina Baru” yang bebas penindasan, perang,
kelaparan, dan salah urus. Dasawarsa 1950-an adalah masa keemasan PKC. Ia telah
berhasil mananamkan pengaruhnya sampai kalangan rakyat terbawah. Maka, tak
mudah mendongkrak PKC dari kursi kekuasaan. Pendapat ini biasanya datang dari
sejarawan.
Ada juga analisis yang melihat faktor-faktor kebudayaan.
Menurut tradisi, kehadiran penguasa dan pemerintah adalah untuk memelihara
keseimbangan di antara kontradiksi-kontradiksi yang hadir di alam semesta.
Ketidakhadiran seorang penguasa yang tidak memegang mandat dari langit akan
menyebabkan kekacauan (luan) dan anarkhi. Luan adalah keadaan yang ditakuti
baik oleh penguasa maupun rakyat Cinaumumnya karenanya mereka segan
mengorbankan keamanan dan ketertiban demi apapun termasuk demokrasi.
Keyakinan tradisional akan perlunya ketertiban atau
keseimbangan ini rupanya sangat dimengerti penguasa Cina. Akhir-akhir ini
hampir setiap hari rakyat Cina dijejali propaganda akan pentingnya kemanan,
pembunuhan dan anarkisme yang melanda (Bekas) Yugoslavia, Afghanistan, Eropa
Timur, dan di (Bekas) Uni Soviet selalu diekspose di media massa Cina. Gunanya,
untuk memberikesan kepada rakyat bahwa alternatif lain dari keamanan,
stabilisasi dan ketertiban adalah anarkhi. Dan keamanan serta ketertiban hanya
bisa dicapai jika ada pemerinah yang kuat.
Namun, disisi lain ada pendapat umumnya dari para ahli ilmu
politik yang mengatakan, kestabilan yang sedang dinikmati pemerintah dan rakyat
Cina dewasa ini hanya kestabilan semu. PKC, kata mereka, sedang mengulur waktu
ada dua hal yang dipakan para penguasa Cina dan memenangkan dukungan
masyarakat; Reformasi ekonomi dan penindasan militer.
Politik bermuka dua itu digambarkan dengan gamblang dalam
alaporan kerja pengurus partai yang diucapkan ketua PKC Jiang Zemin pada
pembukaan kongres ke 14 PKC, September, 1992. Disitu Jiang berterus terang
mengatakan, dalam 10 tahun terakhir ini PKC bisa berkuasa terus karena kemajuan
ekonomi yang dinikmati segala lapisan masyarakat dan pengawasan ketat karena
itulah ia menyerukan pada thun-tahun mendatang laju perkembangan ekonomi dipacu
hingga 9%, mempertahankan kediktatoran partai tunggal, sambil terus memperketat
pengawasan dengan memperkuat tentara dan polisi.
Ia tak banyak membicarakan ideologi, karena memang dengan
laju perkembangan ekonomi begitu hebat, ideologi terdesak ke belakang.
Diperkirakan sekarang tak banyak rakyat Cina yang percaya akan komunisme.
Rekayasa sosisl dan politik yang dipaksananMao Zhedong sejak pertengahan
1950-an sampai 1976 telah menyebabkan banyak orang terutama golongan
intelektual mengalami disilusi.
Menurut mereka PKC pada 1920-an sampai pertengahan 1950-an
dipuja sebagai penyelamat Cina, telah meakukan serentetan kesalahan besar.
Gerakan lompatan jauh ke muka (1957-1959) dan revolusi kebudayaan ( 1966-1976)
digambarkan sebagai contoh nyata kegagalan PKC memimpin Cina. Karena itulah
banyak yang tidak peduli lagi dengan ideologi, bahkan acuh pada partai.
Namun, ironisnya, krisis ideologi itu justru menguntungkan
posisi PKC, rakyat yang setiap gerak-geriknya diawasi, sekarang punya kebebasan
asal saja tidak mengutak ngutik posisi
partai sebagai penguasa tunggal.
Sikap acuh terhadap penguasa itu bukan hanya terjadi di kalanga
bawah saja, tetapi juga di atas. Mantan perdanamenteri dan ketua PKC Zhao
Ziyang, misalnya tidak tidak diapa-apakan dan bahkan setiap hari, konon, asik
main golf. Padahal kesalahan besar ia dituduh bersimpati terhadap berniat
merontokkan kekuasaan partai. Memang ada tuntunan agar ia diadili atau dipaksa
melakukan otokritik, tapi suara itu ibarat peribahsa “Partai Menggonggong Zhao
terus main golf”
Para pengamat yang lebih berani lagi malahan mengatakn, RRC
sebenarnya sudah tidak bisa disebut sebuah negara sosialis. Banyak ciri yang
dulu megidentifikasikannya sebagai
negara sosialis telah ditinggalkan. Komune rakyat telah lenyap dengan adanya
dekontektifisasi.
Prinsip “mangkuk nasi besi” yang menjamin semua orang
mendapat pekerjaan seumur hidup berangsur telah ditinggalkan. Dalam pada itu
perencanaan terpusat juga sudah tidak terdengar lagi kabarnya di bawah prinsip “Desentralisasi”
daerah dieri kekuasaan mengatur sendiri urusannya.
alhasil, ketakutan akan kehilangan kemakmuran dan ketakutan
terceraiberainya tanah air adalah dua faktor yang jadi tumpuan bagi PKC untuk
tetap berkuasa dan jadi “perekat” persatuan nasional.
Tapi, kesinambungan kesuksesan suatu rezim totaliter tidak
bisa selamnanya mengandalkan diri hanya ada psikologi ketakutan kekhawatiran,
represi politik dan pengebirian hak-hak sipil. Para penguasa Cina harus menjadi
etos baru lain yang bisa diterima segenap masyarakat. Mereka sedang dikejar
waktu untuk segera menemukannya.
0 komentar:
Post a Comment