Tuesday, February 9, 2016

Modus Operandi Korupsi Oleh Wakil Rakyat

BY biophia@gmail.com IN No comments


Tindak pidana korupsi di Indonesia tidak hanya dilakukan oleh birokrat dan aparat penegak hukum, tatapi juga merambah ke lembaga legislatif, baik di pusat maupun di daerah. Korupsi di DPRD merupakan fenomena baru yang jarang terjadi pada era orde baru lalu. Perkara korupsi DPRD yang ditangani kejaksaan sebanyak 325 kasus, terjadi hampir diseluruh wilayah Indonesia, mulai dari Aceh sampai Indonesia Timur.

masalahnya korupsi di lembaga legislatif daerah sangat disayangkan, karena DPRD adalah lembaga kontrol bagi kepala daerah dalam menjalankan roda pemerintahan daerah. Kontrol DPRD terhadap kepala daerah dilakukan dalam pelaksanaan pembangunan dan pembangunan keuangan daerah
 (APBD). Ironisnya lembaga yang harusnya menjadi pengawas justru terlibat tidnak pidana korupsi.

kendati melakukan korupsi yang merugikan negara danrakyat, ada saja yang membela koruptor di lembaga legislatif daerah tersebut. Akbar tanjung ketua Umum Partai Golkar, pernah menyatakan bahwa korupsi di DPRD disebabkan salah menafsirkan otonomi daerah. Pernyataan tersebut jelas salah karena korupsi di DPRD bersifat terorganisir dan sistemik, bukan salah tafsir terhadap ketentuan otonomi daerah.

Memang maraknya korupsi di lembaga legislatif daerah tidak dapat dilepaskan dari terjadinya perubahan sistem pemerintahan daerah. Seperti kita ketahui berdasarkan UU no 22/1000 dilakukan perubahan sistem pemerintahan dari sentralisasi menjadi desentralisasi. UU no 22/1999 memberikan otonomi kepada pemerintah daerah (Inklusif DPRD) untuk menangani sendiri urusan rumah tangga daerah, sehingga mereka menggunakan aji mumpung dengan mengajukan anggaran legislatif secara besar-besaran, kemudian uang haram yang dibentuk dari kas APBD tersebut dijadikan bancakan oleh para DPRD secara berjamah.

Sebenarnnya pemerintah telah mengantisipasi terjadinya praktik korupsi di lembaga legislatif daerah berkaitan dengan perlakuan otonommi daerah, yakni dengan menerbitkan PP No 110/2000. PP 110/200 isinya cukup baik, yakni membatasi penggunaan keuangan daerah oleh DPRD.

Namun PP 110/2000 dinilai mengebiri kebebasan DPRD yang telah dijamin oleh UU No 22/1999, termasuk dalm mengatur masalh keuangan dewan. Atas alasan telah melanggar UU No 22/1999  maka dilakukan uji materiil kepada MA atas PP No 110/2000. Permohonan uji materiil oleh DPRD Sumatera Barat dan dikabulkan oleh MA.

Agaknya memang ada etikat buruk dari pengajuan uji materiil tersebut oleh DPRD provinsi Sumatera Barat. terbukti setelah PP No 110/2000 dibatalkan, DPRD Sumatra Barat mengajukan anggaran legislatif di luar kewajaran. untungnya ada seorang anggota DPRD Sumatra barat menolak uang haram dan melaporkan kepada kejaksaan.

Sejarah membuktikan DPRD provinsi Sumatera Barat merupakan korban pertama yang diadili akibat mengkorup uang APBD. Disusul kemudian DPRD kota Padang, yang juga diadili karena ikut-ikutan korupsi, kasus SUmatera Barat seakan memberikan vitamin kepada kejaksaan dalam mengusut kasus korupsi DPRD di berbagai daerah di Indonesia.

Modus operandi yang dilakukan oleh DPRD umumnya adalah, Pertama, penyelewengan uang anggaran APBD. Modus ini dilakukan dengan menilep uang APBD dengan merekayasa pos-pos penggunaan anggaran. Misalnya pos eksekutif direkayasa sedemikian rupa sehingga disulap menjadi pos legislatif.

Kedua, penambahan mata anggran dalam APBD yang tidak tercantum dalam PP 110/2000. Ketiga, penggelembungan atau mark up terhadap dana proyek. Dana proyek pembangunan dianggarkan sangat tinggi dari nilai yang sesungguhnya, sehingga selisih anggan tersebut ditilep oleh eksekutif dan legislatif.

Kadangkala terjadi titip harga dengan menggelembungkan nilai anggaran. Misalnya untuk proyek atau pos anggaran suatu dinas tertentu yang seharusnya sekian miliar, kemudian ditambah titipan dari dewan (Komisi atau panitia anggaran) sehingga nilainya jadi lebih tinggi, di mana kelebihannya diberikan kepada dean yang menitipkan anggaran.

Keempat, biaya operasional fiktif. Salah satu modus operandi ini banyak dilakukan pada dana kunjungan kerja atau studi banding. Hasil kuner atau melencer tersebut tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan. Kadangkala ada kunker fiktif. Misalnya tiket pesawat fiktif.

Sepak terjang anggota DPRD periode lalu telah membuat rakyat prihatin dan mengelus dada, mereka mementingkan diri sendiri dibanding rakyat. Belum lagi ada yang bertindak amoral, di samping korupsi. Perilaku mereka dipacu oleh nafsu untuk mencari harta sebanyak-banyaknya, apapun cara dan risikonya, tidak peduli harus menyikat ke atas atau menyikat ke bawah.

Lebih parah lagi sampai saat ini tidak ada lembaga yang mengawasi DPRD. partai politik juga tidak berperan terlalu banyak dalam mengawasi kadernya yang duduk di DPRD. Tiadanya pengawaasan terhadap DPRD baik kelembagaan maupun personal, menimbulkan banyak terjadi penyelewengan dan pelanggaran hukum termasuk tindak pidana korupsi.

Oleh karena itu pemerintah harus mengawasi kinerja pemerintah daerah. termasuk DPRD tanpa mengurangi kemandirian daerah dalam mengurusi rumah tangganya. Tidak bisa dengan dalih otonomi daerah lalu pemerintah pusat melepas pengawasan terhadap pemerintah daerah. terbukti longgarnya kontrol pusat memicu banyaknya pelanggaran dan penyelewengan daerah.

pada tanggal 28 Agustus 2004 lalu pemerintah menerbitkan PP No 24/2004 yang mengatur kedudukan protokoler dan keuangan pimpinan dan anggota DPRD 24/2004 menganut sistem pengawasan terhadap DPRD secara preventif dan represif. Di samping itu juga diatur kesetaraan gaji antara ketua DPRD dan Kepala Daerah. Sehingga tidak terjadi kesenjangan yang sangat mencolok seperti yang terjadi selam ini.

Dalam PP 24/2004 juga diatur tunjangan tambahan, uang kunjungan kerja, uang sidang. secara keseluruhan gaji pokok anggota DPRD 1,8-2,3 juta. Juga diatur keseimbangan pemberian gaji kepada anggota DPRD bagi daerah kaya dan miskin. berdasarkan PP 24/2004 tersebut DPRD tidak dapat mengajukan anggran seenaknya sendiri seperti yang terjadi pada periode kemarin.

Apabila terjadi penggunaan APBD oleh DPRD di luar ketentuan yang sudah diatur dalam PP No 24/2004 berarti terjadi indikasi terjadinya tindak pidana korupsi. Dengan demikian maka aparat yang berwenang dapat mengambil tindakan hukum jika terjadi penyelewengan anggaran APBD oleh DPRD.

Namun lebih penting dari semua itu adalah konsistensi penindakan jika terjadi pelanggaran hukum. Artinya jika DPRD melanggar ketentuan dalam PP No 24/2004 maka harus ditindak tegas oleh aparat penegak hukum, tidak boleh dibiarkan. Pembiaran atas penyimpangan akanmenjadi preseden sehingga timbul perbuatan seruppa di daerah lain.

Oleh karena itu diperlukan kesiapan dan kesigapan aparat hukum untuk terus melakukan pemantauan terhadap penggunaan dana APBD, baik oleh eksekutif maupun DPRD. Masyarakat juga harus ikut mengawasi penggunaan dana APBD agar tidak disalahgunakan atau dikorup oleh penguasa daerah seperti yang selama ini terjadi.

0 komentar:

Post a Comment