Saturday, February 6, 2016

Cina Pasca Deng Xiaoping, Quo Vads

BY biophia@gmail.com IN No comments

Lie Tek Tjeng

Cita-cita setiap patriot Cina modern, apakah dia anggota partai Nasionalis seperti Dr. Sun Yat-Sen dan Chiang Kai-Sek atau anggota PKC seperti Mao Zedong cs, adalah melakukan modernisasi supaya negaranya menjadi kuat, sehingga disegani dan dihormati dalam pergaulan Internasional. Akan tetapi, biarpun mempunyai cita-cita yang sama, mereka menempuh jalan yang berbeda dalam usaha mewujudkannya. Ini disebabkan oleh misi prefrensi mereka yang berbeda dan yang dipengaruhi oleh lingkungan dan situasi kondisi yang dihadapi.

Dr.Sun Yat-sen meninggal dunia sebelum revolusi selesai, sehingga belum memulai usaha modernisasi negerinya. Penggantinya, Chiang Kai-Shek umumnya dinilai gagal dalam daratan, tetapi kemudian berhasil di pulau Taiwan. Sehingga yang terakhir telah muncul sebagai NIE (Newly Industrialized Economy).


Dr Sun Yat-sen


Mao Zedong cs berorientasi kepada Uni Soviet dalam revolusinya, dan pada tahun-tahun pertama RRC mengandalkan Uni Soviet dalam pembangunan industri beratnya. Akan tetapi, terus memburuknya hubungan Moscow-Beijing menyebabkan pertentangan antara Mao dan ahli warisnya Liu Shiaoqi, sehingga yang terakhir ini dituduh sebagai menempuh jalan kapitalisme/revisionisme ala Khruschev.

Pada tahun 1972 Mao dan PM Zhou Enlai menyambut positif inisial pesiden Nixon untuk memperbaiki hubungan AS-RRC. Ini membuka peluang untuk memanfaatkan dunia barat dan  Jepang untuk modernisasi RRC (Kemungkinan ini tidak terdapat sebelumnya pada perang dingin. Di mana terjadi konfrontasi AS-RRC dan AS melarang sekutu-sekutunya untuk membantu modernisasi RRC). Akan tetapi, Mao dan Zhou meninggal dunia pada tahun 1976. sehingga ahli waris mereka Hua Guofeng dan Deng Xiao Ping menerima tugas untuk melaksanakan modernisassi. Dengan memanfaatkan dunia barat dan jepang.



Mao Zedong

Sebagai politikus yang realistis dan pragmatis, Deng Xiao Ping tidak bisa tidak terkesan oleh keampuhan Maoismeyang dilambangkan oleh Hua Guofeng yang memungkinkan pendukung-pendukungnya untuk mengeliminir lawan-lawan politik Maois mereka. Dan kenyataan, banyak kader partai dari satu pihak mendesak Hua untuk merehabilitasi Deng. Tetapi pada lain pihak menyokongnya untuk menggolkan empat prinsip yang mempertahankan Maoisme sebagai ideologi negara, kelihatan meyakinkan Deng, bahwa lebih baik memanfaatkan Maoisme dari pada melakukan Demaoisasi yang mungkin akan menghidupkan kembali perpecahan dalam persatuan dan kesatuan nasional yang dikhawatirkan oleh semua pihak.

Sikap kader partai ini disebabkan karena mereka sadar kan jasa-jasa Mao yang memulihkan harga diri bangsanya, yang selama satu abad dihina dan dieksploitasi oleh kekuatan asing, dan membentuk negara kesatuan yang kuat yang tidak bisa lagi diabaikan dalam percaturan politik internasional, khususnya di kawasan Asia -Pasifik.

Tak diragukan lagi, bahwa PKC dan partai-partai komunis yang masih dewasa ini sedang menghadapi tantangan berupa krisis kepercayaan. Tantangan itu bukan hanya datanf dari dalam, tapi juga dari luar. Krisis kepercayaan yangsedang dihadapi PKC sebenarnya bukan soal baru sudah sejak pertengahan dasawarsa 1950-an, mendiang Mao Zedong melhat gejala makin memudarnya elan revolusi klub para birokrat dan telah kehilangan fungsinya sebagai "Penyambung lidah masyarakat", karena telah tenggelam dalam dunia yang makin birokratis, dan kehidupan para kadernya yang makin lama makin empuk. Mungkin Mao juga menyadari akan ancaman timbulnya "Kelas baru" dalam sistem komunis seperti yang dilansir penulis Yugoslavia, Milovan Dias. Karena Mao sangat takut akan kebangkitan kembali kapitalisme di Cina.

Deng Xiao Ping


Untuk mengatasi hal itu, Mao telah menggelindingkan berbagai kampanye politik mulai dari "Gerakan seratus bunga" (1955), lompatan jauh ke muka (1957), Gerakan Pendidikan Sosialis (1965), Sampai ke Revolusi Kebudayaan (1966). Dalam revolusi kebudayaan yang berlangsung selama sepuluh tahun (1966-1976),di bawah tema pokok mencegah kebangkitan kembali kapitalisme, sebagian besar unsur partai yang dituduh sebagai "Birokrat", "Kapitalis", "Kanan"dan "Kontra Revolusioner" berhasil dibersihkan. Tapi, meski rentetan berbagai kampanye telah dilancarkan, penyakit yang masih menghinggapi partai masih tetap hadir. Bahkan menjelang wafatnya karena keadaan Cina Yang makin kacau, Mao terpaksa menarik dan mempekerjakan kembali orang-orang yang dulu diganyang dan dikeluarkan dari partai.

Tantangan yang dihadapi PKC sekarang berbeda dengan yang dialaminya pada mas Mao. Dengan diperkenalkannya demokrasi ekonomi sebagai tema pokok, reformasi yang direkayasa Deng sejak 1979, tuntutan untuk terlaksananya demokrasi politik makin besar. Namun Deng dan kawan-kawannya kurang menyadari akan kenyataan, bahwa pada suatu saat tertentu dansuatu titik tertentu demokrasi ekonomi dan demokrasi politik harus bertemu. Dengan demikian proses yang berkembang adalah, di satu sisi PKC bertekad tetap mempertahankan kedudukannya sebagai partai tunggal, tapi di sisi lain massa takyat, terutama kaum muda menuntut hak-hak demokrasi yang lebih besar.

Terjadinya peristiwa berdarah di Tiananmen 3-4 Juni tiga tahun yang silam, tak lain sebagai akibat dari tarik-menarik antara kedua kekuatan ini. Jutaan massa Beijing dan jutaan massa jalan mendukung aksi mahasiswa yang menuntut hak-hak demokrasi. Hanya dengan keperkasaan tentara pembebasan rakyat (TPR) dan kekerasan senjata, kewibawaan partai masih dapat dipertahankan.

Situasi dunia dewasa ini tidak menguntungkan PKC. Runtuhnya Regim-regim komunis totaliter di bekas Uni Siviet dan Eropa Timur, telah disusul dengan munculnya proses demokratisasi yang makin lama menjadi gejala global itu ditambah lagi dengan dunia yang kian hari kian "Sempit" sebagai dampak terciptanya teknologi komunikasi yang semakin lama semakin tambah maju.

Peristiwa pecahnya negara Uni Soviet dan timbulnya protes demokratisasi di sana, pasti disadari kehadirannya oleh sebagian rakyat Cina. Itu semuanya adalah akibat reformasi dan keterbukaan yang dirintis Deng sejak 1979 dan komuniasi yang maikn canggih. Sebagai akibatnya, baik baik di mata sebagian rakyat Cina maupun di mata dunia, PKC bagaikan penjelmaan dalam suatu sistem yabg Ark/naik, anarkronik alias tak sesuai lagi dengan zaman.

Mungkin saja dalam menghadapi dunia dari Cina yang sedang berubah seperti sekarang ini, PKC akan mengambil langkah-langkah lebih terbuka dan menjalankan sistem yang lebih demokratis dan pluratistis. Namun pada kenyataanya PKC dewasa ini adalah satu-satunya kekuatan politik di Cina yang terorganisasi dengan baik. Oleh sebabitu, andai kata muncul suatu partai tandingan atau oposisi, prakarsanya akan muncul di kalangan PKC itu sendiri. sejak awal 1980-an, setiap usaha yang membentuk kekuatan politik alternatif di negeri semilyar manusia itu, selalu gagal, lantaran selalu dihalang-halangi.

Soalnya sekarang, apakah penguasa RRC menyadari akan pentingnya keadaan? Apakah mereka telah mempersiapkan suatu sistem yang lebih cocok untuk masa sekarang? Atau malah lebih aju lagi dengan memberi peluang untuk munculnya suatu kekuatan politik alternatif?

Rangkaian pertanyaan itu hanya bisa dijawab sejarah , walaupun pencarian jalan keluar dari dilema itu sangat mendesak bagi Cina. Sementara itu saat pembukaan kongres makin mendekat.

0 komentar:

Post a Comment